TUGAS
4
ETIKA
PROFESI & ETIKA KEILMUAN
DISUSUN OLEH :
SAHARDIN
( 16-630-012 )
JURUSAN
TEKNIK SIPIL
FAKULTAS
TEKNIK
UNIVERSITAS
DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU
2018
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara etimologis kata etika berasal dari bahasa yunani
yaitu ‘Ethos” berarti watak kesusilaan atau adat.Etika memuat nilai-nilai
kebenaran dan kebaikan, pendapat Ki Hajar Dewantara (1962) dalam Zubair (1992)
Etika adalah “ilmu yang mempelajari soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup
manusia, teristimewa yang mengenai gerak-gerik fikiran dan rasa yang dapat
merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat
merupakan perbuatan”. Etika adalah ilmu pengetahuan yang mengandung muatan
normatif yang memberikan paduan perilaku manusia dalam masyarakat atau dalam
suatu komunitas tertentu tentang baik dan buruk atau benar dan salah.Menurut
Zubair dibagi 3 aspek: aspek
historis, aspek deskriptif , dan aspek
normatif.
Perguruan tinggi membentuk masyarakat yang di kenal dengan
sebutan masyarakat kampus. Dan hal yang baru akan ditemui oleh calon mahasiswa.
Mereka akan mulai mengenal senior dan dosen-dosennya serta hak dan kewajiban
sebagai anggota masyarakat kampus. Etika masyarakat kampus disebut sebagai
etika akademik bersifat universal karena berdasarkan ilmu dan kearifan, juga
adat kebiasaan lokasi dimana kampus tersebut berada akan mempengaruhi tata
krama pergaulan dalam kampus tersebut.
Etika akademik
berlandasan pada ilmu dan kecendekiaan atau kearifan, kecendikiaan tersirat
dalam etika akademik ini adalah bentuk kesadaran terhadap pentingnya
kemanusiaan dalam pergaulan sosial yang didasarkan pada penguasaan ilmu .mereka
yang memiliki wawasan keilmuan dan kearifan yang luas cenderung menerapkan
etika akademik dalam kehidupannya, sebaliknya rendah pengusaan ilmu dan
sempitnya wawasan biasanya akan mendorong prilaku sesorang sekedar mengikuti
nalurinya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
permasalahan etika ilmu
2.
Apa
pengertian penalaran dan logika
3.
Apa
pengertian etika ilmu pengetahuan
4.
Apa
pengertian etika akademis
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui tentang permasalahan etika ilmu
2.
Untuk
mengetahui tentang pengertian penalaran dan logika
3.
Untuk
mengetahui tentang pengertian etika ilmu pengetahuan
4.
Untuk
mengetahui tentang pengertian etika akademis
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Permasalahan Etika Ilmu
Permasalahan yang terjadi saat ini adalah tingginya apatisme
masyarakat terhadap etika keilmuan berkaitan dengan problematika yang terjadi,
kurangnya kepekaan terhadap lingkungan sehingga munculah fenomena-fenomena
negatif. Misalnya, dalam ilmu pengetahuan yang lalu di mana pada masa sekarang
belum sungguh-sungguh terselesaikan, seperti contohnya: bekas-bekas pembungkus
keperluan sehari-hari seperti plastik, buangan limbah rumah tangga, semuanya
akan mencemari lingkungan. Masalah seperti ini tentu saja akan bersentuhan
dengan masyarakat yang menuntut tanggung jawab etis terhadap ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hal ini mendorong manusia untuk mencari pemecahannya, dan
walaupun sekarang sudah dapat ditemukan cara pangatasannya dengan mengolah dan
mendaur ulang (recycle) terhadap sebagian limbah-limbah industri, sehingga
keberadaan manusia tidak terganggu lagi oleh sebagian limbah yang membahayakan
eksistensi manusia.
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi
etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan
lebih lanjut terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab
etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Dalam hal ini relevansi yang harus diperhatikan menurut Achmad
Charris Zubair adalah:
a. Kodrat manusia
b. Martabat manusia
c. Menjaga keseimbangan ekosistem
d. Bersifat universal
e. Bertanggung jawab pada kepentingan
umum
f. dan pada kepentingan generasi mendatang
Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan
untuk mengembangkan dan memperkokoh manusia bukan untuk menghancurkan
eksistensi manusia.
Rasionalisme Ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descrates
dengan sikap skeptis-metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang
sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung,
suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional
tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adalah ilmu-ilmu itu berkembang dengan pesat
apakah bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan
sebagaimana Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya
tuntutan terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu
pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor
eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Paling tidak ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu penegetahuan itu
bebas nilai, yaitu sebagai berikut:
a. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya dan unsur kemasyarakatan lainnya.
a. Ilmu harus bebas dari pengandaian, yakni bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologi, agama, budaya dan unsur kemasyarakatan lainnya.
b. Perlunya usaha kebebasan ilmiah agar otonomi ilmu
pengetahuan terjamin. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan yang tersedia dan
penentuan diri.
c. Penelitian ilmiah tidak luput dari
pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai
etis itu bersifat universal.
Tokoh sosiologi, Weber, menyatakan bahwa ilmu social harus
bebas nilai tetapi ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi
nilai yang relevan. Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan
aktivitasnya seperti mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu,
mereka tidak terpengaruh oleh kepentingan tertentu atau tidak bias. Nilai-nilai
itu harus diimplikasikan ke dalam bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik
itu mengandung tujuan atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan
segelintir orang, budaya, maka ilmuwan sosia tidak beralasan mengajarkan atau
menuliskan itu semua. Suatu sikap yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan
objektivitas ilmiah. (Rizal Mustansyir dan Misnal munir, 2001).
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu sosial harus bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedangkan di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu sosial harus bebas nilai atau tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedangkan di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.
B.
Penalaran dan Logika
Penalaran adalah
proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. berdasarkan
pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang
sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar,
orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui.
proses inilah yang disebut menalar.
Logika deduktif yaitu penarikan kesimpulan dalam metode
ilmiah menggunakan logika kasus yang bersifat individual lalu logika deduktif
yaitu penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individu menjadi kesimpulan yang
bersifat umum.
C.
etika ilmu pengetahuan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga
(2005:309), etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta
tentang hak dan kewajiban moral. Moral yang dimaksudkan di sini adalah akhlak,
yakni budi pekerti atau kelakuan makhluk hidup. itu dengan kata lain disebutkan
bahwa etika itu membahas tentang perilaku menuju kehidupan yang baik, yang di
dalamnya ada aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan sebagainya.
Sedangkan Etika ilmu pengetahuan mengantarkan
kita pada kontemplasi mendalam, baik mengenai hakekat, proses pembentukan,
lembaga yang memproduksi ilmu lingkungan yang kondusif dalam pengembangan ilmu,
maupun moralitas dalam memperoleh dan mendayagunakan ilmu tersebut. Oleh karena
itu, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan.
d.
Etika
akademis
Dalam The Encyclopedia of
Philosophy istilah Etika digunakan dalam tiga penggunaan yang berbeda namun saling terkait,
yaitu 1) Sebuah pola umum atau cara hidup, 2) serangkaian aturan tingkah laku
atau kode etik dan 3) penelitian mengenai cara-cara hidup dan aturan-aturan tingkah lakukan
Menurut Parsudi
Suparlan Etika dapat dilihat sebagai aturan-aturan mengenai nlai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang merupakan pedoman
bagi anggota sesuatu profesi atau
kehidupan sosial tertentu dalam mewujudkan tindakan-tindakan sehingga tindakan-tindakan
tersebut tercermin kualitas moral dan
kecocokan dengan hakikat profesi atau kehidupan sosial tersebut.
Sedangkan menurut Karl
Berth etika (dari ethos) adalah sebanding dengan moral
(dari mos) menunjukkan arti moda (mode) tingkah laku manusia,
suatu karena itu, secara umum etika atau moral adalah filsafat,
ilmu atau disiplin tentang moda-moda
tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia.[1][1][6]
Dalam
kehidupan kemodrenan nilai etis sangatlah penting dijadikan konsep dan ajaran
yang serba meliputi (komprehensif) menjadi pangkal pandangan hidup tentang baik
dan buruk, benar dan salah.
Di
kalangan ilmuwan pemakaian kata etika telah mendapat arti yang lebih
dalam daripada kata moral. Kata moral telah mendangkal artinya,
kadang-kadang moral hanya berarti kelakuan lahir seseorang, sedangkan etika
tidak hanya menyinggung perbuatan lahir saja, tetapi selalu menyinggung kaidah
dan motif-motif perbuatan yang lebih mendalam.
Bilamana
etika mencakup atas perbuatan lahir dan juga menyinggung motif perbuatan maka
dipandang bahwa semua etika terbangun dalam setiap diri manusia dan profesi
serta tanggung jawab. Dengan demikian setiap etika dipandang sebagai
kebutuhan karena terkait kualitas pelaksanaan kegiatan dalam masing-masing
profesi. Bisa dikatakan secara historis, perumusan etika berjalan beriringan
dengan perkembangan kompleksitas sistem sosial umat Islam dan
profesionalisasi berbagai bidang kehidupan umat Islam.
Perkembangan
pengkajian etika di dunia Perguruan Tinggi (dalam hal ini dibatasi pada dekade
abad 20) disebabkan alasan bahwa pada akhir 1960-an dan permulaan 1970-an
muncul revolusi mahasiswa di berbagai negara Barat. Salah satu puncaknya
terjadi di Perancis tahun 1968, yang menuntut hak mahasiswa untuk diikutkan
dalam pengurusan perguruan tinggi dengan diwakili dalam organ-organ yang
menentukan kebijakan akademis. Revolusi itu bisa dilihat sebagai perjuangan
menuntut hak.
Gejala
itu menunjukkan bahwa etika penting diterapkan di tengah suasana yang jelas
ditandai kepedulian etis yang mendalam. Dalam tulisan ini menitikberatkan
pergumulan etika akademis dalam budaya akademis yang merupakan seluruh sistem
nilai, gagasan, norma, tindakan, dan karya yang bersumber dari Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi sesuai dengan asas Pendidikan Tinggi sebagaimana termuat pada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
pada paragraf 3 pasal 5 menyebutkan bahwa: Sivitas Akademika berkewajiban memelihara dan
mengembangkan budaya akademik dengan memperlakukan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi sebagai proses dan produk serta sebagai amal dan paradigma moral.
Kajian
etika akademis menganalisis secara komprehensif tentang aspek sosio historis
yang berlaku dalam budaya akademik pada abad 20 ini merupakan tema sentral yang
perlu untuk diperbincangkan. Etika akademis adalah hakikat kegiatan ilmiah yang
berlangsung di dunia akademik di perguruan tinggi yang berlaku secara
universal, seperti kejujuran,
ketelitian, keterbukaan, objektivitas, rendah hati, kemauan untuk
belajar dan berkembang, siap untuk menerima kritikan, saling menghormati dan
tidak berlaku diskriminatif. Oleh sebab itu seluruh komponen sivitas akademika semestinya memahami dengan benar dan
merasa terikat dengan etika akademis. Keterikatan terhadap etika akademis
tercermin pada setiap aspek kegiatan akademik, seperti perkuliahan, penelitian,
penulisan dan publikasi, penggunaan gelar akademis dan sebagainya.
` Dengan demikian dipandang perlu untuk menjelaskan
bagaimana etika akademis diterapkan secara spesifik dalam berbagai kegiatan
akademis maupun kegiatan kampus lainnya.Tindakan yang melanggar etika akademis
merupakan tindakan tidak etis. Aktivitas yang termasuk dalam kategori tindakan
tidak etis dan atau pelanggaran akademis merupakan perbuatan terlarang, antara
lain penyontekan/kecurangan, plagiat, perjokian, pemalsuan, penyuapan,
tindakan-diskriminatif, dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus dimiliki para ilmuan karena sikap ilmiah ini merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Sikap adalah manifestasi operasionalisasi jiwa. Berpikir termasuk tingkat kejiwaan manusia yang disebut kognisi yang terjadinya adalah karena adanya kesadaran dalam dirinya yang memiliki kekuatan rohaniah. Oleh karena berpikir itu selalu mengarah dan diarahkan kepada suatu objek pemikiran, maka sikap ini merupakan penampakan dasar pokok bagi pemikiran ilmiah. Jadi ilmiah ini dapat dikatakan sebagai manifestasi operasionalisasi dari seseorang yang memiliki jiwa ilmiah. Dengan demikian jiwa ilmiah dapat diketahui dari sikap ilmiahnya sebagai keseluruhan dan pengejawantahan jiwa ilmiah.
B. Saran
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai Mahasiswa untuk menerapkan etika keilmuan pada kehidupan sehari-hari. Karena fungsi dari ilmu itu sendiri adalah untuk memperkokoh eksistensi manusia bukan sebaliknya
DAFTAR
PUSTAKA
Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu
Pengetahuan Manusia. Yogyakarta: LESFI.
Komentar
Posting Komentar